blog.mahmudjaniginting
Minggu, 06 April 2014
Rabu, 03 April 2013
cerita cinta
Aku
memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret
2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga
kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat
dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan.
Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan
masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan
pelik.
Ulang
tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi.
Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku
menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah
membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak
apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi
ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen
rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak
mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin
mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik
napas panjang.
Heran,
apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku
mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak
ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada
momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah
muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan
aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan
kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa
mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim
pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku
cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian
dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi,
masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah
mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal
titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan.
Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung
waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun
perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami
sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya
dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa
kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang
sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk
di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam
keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah,
beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya,
hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin
berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan.
Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali
baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini.
Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa
perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen,
kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku
heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis
yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya
bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya,
hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja,
kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum
saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima
lamaranku lewat Diah.
”Kamu
kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku
sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi,
apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku
yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik.
Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu
pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti
layaknya

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.
Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas
smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut
perhatian suamiku.
Aku
langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku.
Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku
saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa
Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa
basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia
selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau
awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku
berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum
mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah
Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi
terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa
kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras.
Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan
hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak
orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku
terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu
keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa.
Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan
istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya
perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku
membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya,
selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir
tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku
dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan
memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin
beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan?
Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita
denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di
kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan
menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya
yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen,
kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan
yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…”
Ibu berkata tenang.
Aku
memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku
kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk
Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh
dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang
mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian
tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan,
rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan
waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari
agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya
dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini.
Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia
bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya?
Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku
segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah
dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak
memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan
malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan
rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang.
Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima
smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku
terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding,
jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di
sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’
tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

“Sendirian aja dhek Lia?
Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang
mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek
perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal
tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek
ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha
juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu
dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-masing membuat kami
jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat
ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa,
kami jadi lebih cepat akrab.
“Kebetulan Mas Adi
sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri”, jawabku sambil
memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal
yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang
mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis
taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang
kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya
mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit
risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan
rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak
orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran
dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah
belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari
pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan
termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6
tahun lamanya.
“Dhek Lia, ndak
buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu”, tiba-tiba
mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi
free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol”, jawabku
sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek
dengan Mesjid.
Dengan
suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang
kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo
yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
“Aku dan mas Bimo kenal
sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun
sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga
yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha mulai bertutur.
“Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk
mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi
cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak
meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami
jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang
sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku,
Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak
bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada
pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan
syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan
mas Bimo untuk menikah”.
“Mbak nggak minta
petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?”, tanyaku penasaran. “Itulah
dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti
nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang
akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku
sendiri”
“Pentingnya ilmu tentang
pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku
sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri.
Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih
mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar
dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan
puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu
pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita
biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau
laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil
tersenyum getir
Senin, 01 April 2013
seorang ibu,,,,,,,
Cerita Sedih Tentang Ibu - Ini adalah cerita sedih tentang Ibu
yang mungkin dapat menjadi inspirasi bagi kita yang membacanya agar
senantiasa menyayangi Ibu yang sejauh ini telah bersusah payah untuk
membesarkan kita. Cerita sedih tentang Ibu ini aslinya berjudul pengorbanan seorang Ibu yang saya peroleh dari situs cerpen.web.id.
Berikut adalah cerita sedih tentang ibu selengkapnya, semoga teman-teman merasa terhibur sekaligus mendapatkan inspirasi dengan kehadiran cerita ini. Selamat membaca...
Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.
Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.
Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.
Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.
Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.
Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.
Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.
Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.
Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.
Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.
Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.
Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.
Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"
"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.
"Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.
Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"
Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.
Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja "Mother's Day" sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.
Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?
Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.
Berikut adalah cerita sedih tentang ibu selengkapnya, semoga teman-teman merasa terhibur sekaligus mendapatkan inspirasi dengan kehadiran cerita ini. Selamat membaca...
Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.
Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.
Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.
Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.
Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.
Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.
Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.
Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.
Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.
Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.
Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.
Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.
Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"
"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.
"Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.
Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"
Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.
Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja "Mother's Day" sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.
Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?
Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.
Kamis, 05 Januari 2012
no ak kol yo
no hp??082166120606,,jangan lupa sms atau di koling yoooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
ak butuh teman curhat atu teman yang baik haty dan tydak bandel,,,,,
haiiiiiiiiii?lobay
nama saya mahmud alamat saya cokro saya butuh teman baik laki atau perampuan tapi tgal di daerah kisaran untuk dijadikan teman curhat bagi yang mau koling donkkkkkkkkkkk,,,ak butuh teman yang baik hatynya sama kyak ak,,,,,hhehehelobayyyyyyyy
Rabu, 04 Januari 2012
patah haty,,,,,
jangan sampai nekat bunuh diri karena cinta ,,,mendingan carin yang lain ataun masih rengan lebih baik dipertahankan daripadaputus klau ad pihak ketiga jangan percaya terlebih dahulundiselidiki
Langganan:
Postingan (Atom)